Jakarta – Prof. Dr. Hardi Fardiansyah, Ketua Umum Organisasi Advokat Peradi Utama, menanggapi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 mengenai pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. Fokus utama tanggapannya adalah Pasal 103 ayat 4e yang mengatur penyediaan alat kontrasepsi bagi anak usia sekolah dan remaja.
Prof. Dr. Hardi menekankan bahwa pelaksanaan program ini memerlukan perencanaan yang matang untuk mencegah anggapan bahwa hubungan seksual pada anak usia sekolah dan remaja dibolehkan. Dalam wawancaranya, ia mengungkapkan keprihatinannya mengenai data tahun 2022 yang menunjukkan bahwa 15,5 persen dari perempuan hamil mengalami kehamilan tidak dikehendaki, yang banyak terjadi pada remaja dari kalangan siswa sekolah menengah atas.
“Pasal 103 ayat 4e menyebutkan penyediaan alat kontrasepsi dalam pelayanan kesehatan reproduksi bagi siswa dan remaja. Namun, konsep pendidikan seks komprehensif (CSE) yang umum di negara-negara Barat mungkin tidak sepenuhnya sesuai dengan konteks budaya Indonesia,” katanya. Ia menambahkan, pendidikan tersebut sering kali mencakup aspek-aspek seksual yang lebih luas dan dapat dianggap tidak sesuai oleh sebagian masyarakat. Ada kekhawatiran bahwa dengan memberikan akses alat kontrasepsi, remaja dapat lebih terdorong untuk melakukan hubungan seksual tanpa pemahaman penuh akan konsekuensi emosional dan sosialnya.
Penyediaan alat kontrasepsi untuk remaja adalah isu yang kompleks dan sensitif. Meskipun bertujuan melindungi kesehatan reproduksi dan mencegah kehamilan yang tidak diinginkan, program ini harus dipertimbangkan secara hati-hati dalam konteks budaya dan sosial Indonesia. “Penyediaan alat kontrasepsi dapat dianggap sebagai legitimasi bagi hubungan seksual di luar pernikahan, yang bertentangan dengan norma-norma budaya dan agama yang berlaku di Indonesia. Ini berpotensi mengubah pandangan remaja terhadap seksualitas dan menurunkan nilai-nilai kesucian yang dijunjung tinggi,” lanjutnya.
Prof. Dr. Hardi juga mempertanyakan penyebutan pada pasal 104 ‘perilaku seksual yang sehat, aman, dan bertanggung jawab’ dalam PP tersebut, terutama terkait anak sekolah dan remaja. Ia mengingatkan pemerintah untuk berhati-hati dalam merumuskan pasal yang dapat ditafsirkan secara liar oleh masyarakat. “Jangan sampai muncul anggapan bahwa PP tersebut mendukung seks bebas pada anak usia sekolah dan remaja, asalkan aman dan bertanggung jawab,” ujarnya.
Oleh karena itu, Prof. Dr. Hardi meminta agar PP tersebut segera direvisi untuk menghindari kegaduhan di kalangan masyarakat. “Harus ada kejelasan mengenai pasal tersebut dan edukasi seputar hubungan seksual yang tidak terlepas dari nilai-nilai agama dan budaya yang dianut bangsa,” tambahnya.